PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM K.H. AHMAD DAHLAN

April 1, 2010 nezzasalsabila

I. PENDAHULUAN What se do in life….enchoes in eternity…Setiap peristiwa di jagad raya ini adalah potongan mozaik. Terserak di sana-sini, tersebar dalam rentang waktu dan ruang-ruang. Namun perlahan-lahan ia akan bersatu membentuk sosok seperti MontaseAnton Gaudi. Kita sebagai generasi pendidik, mozaik-mozaik itu akan membangun siapa diri kita, lalu apa yang akan kita kerjakan dalam dunia kita sebagai bagian dari mozaik dunia pendidikan kita. (Andrea Hirata, Sang Pemimpi) Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan kau hidup dari Muhammadiyah (Buya Ahmad Dahlan) Sampai sekarang permasalahan pendidikan masih sangat hangat dibicarakan oleh para ilmuwan Muslim di seantero dunia (mis. pada konferensi pendidikan)[1] dengan mencoba menginventarisis pendidikan untuk diberikan solusi. Pada masa kolonialisme, pola pendidikan yang dualistis masih terjadi di Indonesia yaitu adanya system pendidikan colonial dan system pendidikan Islam (pesantren). Pendidikan colonial sangat berbeda dengan pendidikan Islam “tradisional”. Perbedaan itu, bukan hanya dari segi metode, tetapi lebih khusus lagi dari segi isi dan tujuan pendidikan. Pada awalnya tempat-tempat pendidikan yang didirikan oleh pemerintahan colonial Belanda khusus bagi anak-anak Belanda dan anak orang asing lainnya atau bagi anak pribumi yang berasal dari tokoh terkemuka seperti orang kraton (priyayi) dan pejabat desa. Lembaga pendidikan yang dikhususkan bagi anak-anak tertentu itu dinamakan Europeesche Lagere School.[2] Namun sejak adanya politik etika colonial Belanda berdiri berbagai macam sekolah, maka mulai dari Inlandsche Lagere School yang disebut sekolah rendah. Hogere Burger School (HBS), Meer Vitgebreit Lagere Onderwijs (MULO) sebagai sekolah menengah pertama. Sampai Algemeene Midle Bare School (AMS) sebagai sekolah lanjutan atas.[3] Sesuai dengan landasan politik yang dijalankan pemerintah Belanda, maka tujuan sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Belanda juga mencerminkan arah politiknya, yakni sekedar untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang agak terdidik.[4] Di sisi lain, pendidikan yang dikelola oleh pemerintah colonial, berorientasikan pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi. Corak pendidikan tersebut sesuai dengan strategi politik pemerintah colonial Belanda yang ingin netral terhadap agama.[5] Secara umum, fenomena di atas menunjukkan bahwa keadaan social-ekonomi-kultural dan politik saat itu benar-benar merupakan tantangan bagi sejumlah tokoh pada saat itu yang harus dijawab dengan ide dan tindakan. Selanjutnya setting social di atas menunjukkan fenomena bahwa umat Islam dihadapkan pada maslah dikotomi pendidikan, yaitu pengaruh kebudayaan Barat dan kemunduran intelektural di pihak lain. Sadar akan tantangan yang demikian, di beberapa kawasan Nusantara tampil para tokoh dan pemikir membawa seperngkat pemikir, baik dalam bentuk tulisan maupun melalui karya nyata sebagai jawaban terhadap tantangan yang mereka hadapi. Mereka itulah yang disebut dengan kaum pembaharu yang kehadiran dan kebangkitan mereka bertujuan tidak hanya untuk menentang pengaruh Barat dari segi social dan cultural, tetapi juga untuk menghimbau mereka untuk kembali kepada dasar-dasar pokok Islam melalui jalur pendidikan sebagai central kegiatan politiknya.[6] Di antara tokoh pembaharu, diantaranya muncul  di Kauman Yogyakarta yaitu K. H. Ahmad Dahlan (1868-1923) dengan pemikirannya mengenai pendidikan Islam dan organisasi Muhammadiyahnya yang didirikan pada tahun 1921 M. Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai Biografi K.H. Ahmad Dahlan, Pemikiran beliau mengenai Pendidikan Islam, beliau sebagai pembaharu dan hubungannya dengan Muhammadiyah.

  1. PEMBAHASAN
    1. Riwayat Hidup Singkat Ahmad Dahlan

Seperti yang kita ketahui bahwa penulisan riwayat hidup K.H. Ahmad Dahlan telah banyak dilakukan oleh para sarjana.[7] K.H. Ahmad Dahlan lahir di Kauman Yogyakarta pada tahun 2008 . Nama kecilnya adalah Muhammad Darwisy dan merupakan anak keempat dari K.H. Abu Bakar (seorang ulama dan khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan ibunya merupakan putrid dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghlu kesultanan juga.[8] Ia merupakan anak keempat dari tujuh ornag bersudara yang keseluruhan saudaranya perempuan kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang keduabelas dari maulana malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di tanah Jawa. Ia dikenal jujur dan sederhana dan inilah yang membuatnya disukai orang. Untuk mempelajari ilmu-ilmu agama ia berpindah dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Ia mempunya sikap kritis terhadap pola pendidikan tradisional, tetapi tidak punya kekuatan untuk mengubahnya. Dalam keadaan seperti ini Ia beruntung memproleh kesempatan melanjutkan pendidikannya ke Mekah pada tahun 1890.[9] Di sinilah Ia berinteraksi dengan pemikir-pemikir pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afgani, Rasyid RIdha, dan Ibnu Taimiyah. Pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunya pengaruh yang besar padanya. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini sehingga kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian dunia Islma saat itu yang masih bersifat ortodoks. Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan beliau tentang universalitas Islam. Ide-ide tentang reenterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khususnya saat itu. Ia juga merupakan murid Syaikh Ahmad Khatib (1899-1916), tokoh kelahiran Indonsea yang saat itu menempati posisi tertinggi dalam penguasaannya atas ilmu-ilmu agama di Mekkah.[10] Dalam pendidikan keagamaan formalnya sebagian besar waktu K.H. Ahmad Dahlan tampaknya dihabiskan untuk mempelajari ajaran Islam tradisionalis, karena itu perkenalannya dengan gagasan-gagasan modernisme Islam kemungkinan terjadi lewat bacaan pribadi dan hubungannya dengan kaum moerdenis Muslim lain. Sekembalinya dari Mekkah tahun 1905[11] ia menikah dengan Siti Walidah, anak perempuan seorang hakim di Yogyakarta yang kelak dikena dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Karena gajinya sebagai khatib tidak mencukupi untuk memenuhi keperluannnya sehari-hari, ia berdagang batik. Ini membawanya ke hampir seua daerah di Jawa dan memberinya kesempatan untk menyampaikan gagasan-gagasannya kepada kaum Muslim yang menonjol di daerah masing-masing. Mereka inilah yang belakangan menjadi bagian inti gerakan Muhammadiyah dan pengikutnya yang bersemangat.[12] K.H. Ahmad Dahlan juga bergabung dengan organisasi Jam’iyatul Khair[13], Budi Utomo[14], anggota teras Sarekat Islam. hingga akhirnya di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 lahirlah Muhammadiyah sebagai gerakan umat Islam. dan sejak awal K.H. Ahmad Dahlan menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat social dan bergerak di bidang pendidikan. Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan  ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut. Namun, pada saat Muhammadiyah teratur dan kuat, K.H. Ahmad Dahlan berpulang ke rahmatullah pada tanggal 23 Februari 1923 dalam usia 55 tahun. Dan sekarang kita dapat menyaksikan Muhammadiyah menjadi semakin maju dan berkembang di seluruh nusantara dengan berbagai amal usahanya tidak terlepas dari usaha beliau yang sangat luar biasa.

  1. Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Dahlan

Buya merasa tidak puas dengan system dan praktik pendidikan saat itu, dibuktikan dengan pandangannya mengenai tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang baik budi, luas pandangan, dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat.[15] Karena itu buya merentaskan beberapa pandangannya mengenai pendidikan dalam bentuk pendidikan model Muhammadiyah khususnya, antara lain:

  1. Pendidikan Integralistik

K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan Beliau musti lebih banyak merujuk pada bagaimana beliau membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato terakhir beliau yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Beliau terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat Beliau dalam pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci; (2) akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia; (3) ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt. Pribadi K.H. Ahmad Dahlan  adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu “model” dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan “titik pusat” dari suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam. Berbeda dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih menaruh perhatian pada persoalan politik dan ekonomi, K.H. Ahmad Dahlan mengabdikan diri sepenuhnya dalam bidang pendidikan. Titik bidik pada dunia pendidikan pada gilirannya mengantarkannya memasuki jantung persoalan umat yang sebenarnya. Seiring dengan bergulirnya politik etis atau politik asosiasi (sejak tahun 1901), ekspansi sekolah Belanda diproyeksikan sebagai pola baru penjajahan yang dalam jangka panjang diharapkan dapat menggeser lembaga pendidikan Islam semacam pondok pesantren. Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama saja. Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat) pendidikan ini K.H. Ahmad Dahlan  “gelisah”, bekerja keras sekuat tenaga untuk mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua sistem pendidikan itu. Cita-cita pendidikan yang digagas Beliau adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan  melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Beliau tentang model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi perkembangan. Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran murid-muridnya Beliau akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912. Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan  bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Beliau menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada semangat yang musti dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala  al-Ma’un sebagaimana dipraktekan K.H. Ahmad Dahlan . Anehnya, yang diwarisi oleh warga Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya, bukan cita-cita pendidikan, sehingga tidak aneh apabila ada yang tidak mau menerima inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan dianggap sebagai bid’ah. Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari K.H. Ahmad Dahlan  adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan, bukan bentuk atau hasil ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan arangnya. Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu memproduksi ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak. Menurutnya, sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang terbaik.  Dalam semangat yang sama, belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan. Salah satu model pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah sampai sore hari, tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.

  1. Mengadopsi Substansi dan Metodologi Pendidikan Modern Belanda dalam Madrasah-madrasah Pendidikan Agama

Yaitu mengambil beberapa komponen pendidikan yang dipakai oleh lembaga pendidikan Belanda. Dari ide ini, K.H. Ahmad Dahlan dapat menyerap dan kemudian dengan gagasan dan prektek pendidikannya dapat menerapkan metode pendidikan yang dianggap baru saat itu ke dalam sekolah yang didirikannya dan madrasah-madrasah tradisional. Metode yang ditawarkan adalah sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan tradisional. Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi saat ini. Sebagai contoh, K.H. Ahmad Dahlan mula-mula mendirikan SR di Kauman dan daerah lainnya di sekitar Yogyakarta, lalu sekolah menengah yang diberi nama al-Qism al-Arqa yang kelak menjadi bibit madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta. Sebagai catatan, tujuan umum lembaga pendidikan di atas baru disadari sesudah 24 tahun Muhammadiyah berdiri, tapi Amir Hamzah menyimpulkan bahwa tujuan umum pendidikan Muhammadiyah menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah:[16]

  1. Baik budi, alim dalam agama
  2. Luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum)
  3. Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya

Mungkin ada benarnya jika dikaitkan dengan latar belakang timbulnya pemikiran pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan yang antara lain disebabkan oleh rasa tidak puas terhadap system pendidikan yang ada dan hanya mengembangkan salah satu bidang pengetahuan dari kedua pengetahuan yang ingin dirangkul oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya. Ijtihad pemikiran pendidikan yang dicetuskan K.H. Ahmad Dahlan melalui gagaan dan praktek pendidikan Islamnya merupakan cikal bakal dan dijadkan estafet dalam pembaharuan system pendidikan Muhammadiyah, sebagai contoh “pondok Muhammadiyah”. Ada empat pokok model pembaharuan pendidikan di Pondok Muhammadiyah antara lain:[17]

No. Sistem Pendidikan Lama Pondok Muhammadiyah
1. 2. 3. 4. System belajar mengajar Weton dan Sorogan. Bahan pelajaran semata-mata agama, kitab-kitab karangan ulama pembaharuan tidak dipergunakan. Belum ada RP yang teratur dan integral. Hubungan guru dan murid lebih bersifat otoriter dan kurang demokratis. Sistem klasikal dengan cara-cara Barat. Bahan pelajaran tetap, ditambah ilmu pengetahuan umum. Kitab-kitab agama dipergunakan secara luas, baik klasik maupun kontemporer.[18] Sudah diatur dengan RP. Diusahakan suasana hubungan guru dan murid lebih akrab bebas dan demokratis.

Dalam pendidikan di pondok Muhammadiyah mata pelajaran agama dan alat untuk mempelajari agama sebagai mata pelajaran pokok. Program pendidikan pondok Muhammadiyah berbeda dengan sekolah Muhammadiyah. Pondok Muhammadiyah menekankan hal keagamaan . sementara sekolah kelas I dan II yang dikelola Muhammadiyah, pendidikan agama hanya sebagai mata pelajaran suatu bidang studi yaitu mata pelajaran Agama Islam. mata pelajaran ini disampaikan pada suatu kelas tertentu dnegna waktu yang ditetapkan. Sekolah Muhammadiyah pada awal abad ke-20 sudah menerapkan system ulangan, absensi murid dan kenaikan kelas. Sementara itu, ujian idpakai sebagai pengukur kecakapan murid. Pendidikan Muhammadiyah juga ditunjang dengan beberapa kegiatan di luar jam pelajaran dan guru dihormati secara wajar. K.H. Ahmad Dahlan telah membawa pembaharuan pendidikan waktu itu melalui Muhammadiyah baik dengan memasukkan mata pelajaran agama di sekolah-sekolah umum dan menyerap ilmu-ilmu yang datang dari Barat, serta memasukkan kitab-kitab ulama baru ke dalam kurikulumnya. Semuanya itu mengundang munculnya berbagai kecaman terhadap beliau. Ada yang menuduh sebagai murtad, kreisten, penganut paham mu’tazilah, kharijiah, dsb. Bahkan sampai tahun 1933 disebutkan bahwa sekolah Muhammadiyah sebagai sekolah kebelanda-belandaan atau kebarat-baratan. Namun Muhammadiyah tetap bisa bertahan dan hingga saat ini mewajikan pembelajaran pengetahuan keIslaman yang disebut al-Islam dan keMuhammadiyahan, dengan mengajarkan Islam versi Majlis Tarjih. Muhammadiyah selalu terbuka dan terus berkembang, termasuk dalam hal keputusan Tarjih. Hal ini karena dalam penentuan sebuah keputusan Tarjih diambil dengan cara mencari yang paling kuat dasarnya, bahkan bisa terjadi tidak sejalan dengan praktik yang dilakukan pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan.[19]

  1. Memberi Muatan Pengajaran Islam pada Sekolah-sekolah Umum Modern Belanda

Muhammadiyah baru memutuskan meminta kepada pemerintah agar memberi izin bagi orang Islam untuk mengajarkan agama Islam di sekolah-sekolah Goebernemen pada bulan April 1922. sebenarnya sebelum Muhammadiyah didirikan ini sudah diusahakan namun baru mendapat izin saat itu. Hingga akhirnya Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah swasta yang meniru sekolah Gubernemen dengan pelajaran agama di dalamnya.[20] Tujuan pokok organisasi dan pendirian lembaga pendidikan menjadi orientasi utama K.H. Ahmad Dahlan sehingga berusaha untuk menandingi sekolah pemerintahan Belanda dengan mengikuti contoh misi Kristen dengan menyebarkan fasilitas dan mendesakkan pengalaman iman.[21] Sekolah Dasar Belada dengan al-Qur’an didirikan dari keterkesanannya terhadap kerja para misionaris Kristen dan SD Belanda dengan Alkitabnya.[22] Sekolah Muhammadiyah mempertahankan dimensi Islam yang kuat, tetapi dilakukan dengan cara yang berbeda dengan sekolah-sekolah Islam yang lebih awal dengan gaya pesantrennya yang kental. Dengan contoh metode dan system pendidikan baru yang diberikannya.[23] K.H. Ahmad Dahlan juga ingin memodernisasi sekolah keagamaan tradisional.[24] Untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah Muallimin dan Muallimat, Muballighin dan Muballighat. Dengan demikian diharpakan lahirlah kader-kader Muslim sebagai bagian inti program pembaharuannya yang bisa menjadi ujung tombak gerakan Muhammadiyah dan membantu menyampaikan misi-misi dan melanjutkannya di masa depan. K.H. Ahmad Dahlan juga bekerja keras meningkatkan moral dan posisi kaum perempuan dalam kerangka Islam sebagai instrument yang efektif dan bermanfaat di dalam organisasinya karena perempuan merupakan unsur penting  berkat bantuan istri dan koleganya sehingga terbentuklah Aisyiah . di tempat-tempat tertentu, dibukalah masjid-masjid khusus bagi kaum perempuan, seseuatu yang jarang ditemukan di Negara-negara Islam lain bahkan hingga saat ini. K.H. Ahmad Dahlan juga membentuk gerakan pramuka Muhammadiyah yang diberi nama Hizbul Watan.

  1. Menerapkan Sistem Kooperatif dalam Bidang Pendidikan

Kita dapat melihat adanya kerjasama yang harmonis antara pemerintahan Belanda dengan Muhammadiyah.[25] Keduanya sama-sama memperoleh keuntungan. Pertama, dari sikap non oposisional. Kedua, mendukung program pembaharuan keagamaan  termasuk di dalam bidang pendidikan. Sikapnya yang akomodatif dan kooperatif memberikan ketentuan mutlak untuk bertahan hidup di tengah iklim yang sangat tidak ramah terhadap gerakan nasionalis pribumi dan disaat tidak satupun gerakan yang sebanding dengannya dapat bertahan saat itu. Sehingga K.H. Ahmad Dahlan dapat masuk lebih dalam pada lingkungan pendidikan kaum misionaris yang diciptakan oleh pemerintah Belanda, yang saat itu lebih maju kedepan dari pada sistem penddikan pribumi yang tradisional.[26] Dari uraian tersebut di atas, ada beberapa catatan yang direntaskan oleh buya[27], antara lain:

  1. Membawa pembaruan dalam bentuk kelembagaan pendidikan, yang semula seistem pesantren menjadi system sekolah.
  2. Memasukkan pelajaran umum kepada sekolah-sekolah keagamaan atau madrasah.
  3. Mengadakan perubahan dalam metode pengajaran, dari yang semula menggunakan metode weton dan sorogan menjadi lebih bervariasi.
  4. Mengajarkan sikap hidup terbuka dan toleran dalam pendidikan.
  5. Dengan Muhammadiyahnya buya berhasil mengembangkan lembaga pendidikan yang beragam dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi dan dari yang berbentuk sekolah agama hingga yang berbentuk sekolah umum.
  6. Berhasil memperkenalkan manajemen pendidikan modern ke dalam system pendidikan yang dirancangkannya.
  7. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah

Muhammadiyah merupakan gerakan umat Islam yang lahir di Yogyakarta 18 Nopember 1912. Yang perkembangannya, terutama sejak paruh kedua tahun 1920-an menunjukkan grafik meningkat. Disaat gerakan umat Islam seangkatannya justru dilanda perpecahan dan perlahan menunjukkan grafik penurunan, yaitu Sarekat Islam (SI). Yang saat itu SI pecah karena infiltrasi komunis, sehingga muncul SI “Merah” yang jadi onderbow PKI (1920). Dengan melihat perkembangan Muhammadiyah ini ada sebagian yang menyebutkan sejarah Indonesia 1925-1945 adalah sejarah Muhammadiyah. Mungkin ini tidak berlebihan. Pernyataan ini menyiratkan betapa besar peranan gerakan Muhammadiyah atau kader-kader Muhammadiyah dalam dinamika sejarah umat dan bangsa ini. Sejarah mencatat, KH Mansur penggerak MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) zaman Jepang adalah pimpinan pusat Muhammadiyah. Ki Bagus Hadikusumo, adalah pimpinan pusat Muhammadiyah yang turut merumuskan Piagam Jakarta dan berperan dalam sidang-sidang persiapan kemerdekaan. Mr.Kasman Singodimejo pun politisi yang berasal dari Muhammadiyah. Bung Karno, Ir.Juanda, Sudirman, dll tokoh bangsa ini tidak sedikit merupakan kader lulusan pendidikan Muhammadiyah. Dalam aspek sosial gerakan Muhammadiyah pun banyak memberikan kontribusi pengembangan umat dan bangsa. Misalnya Muhammadiyah memelopori pendirian Panti Asuhan dan Rumah Sakit. Bahkan Lembaga Haji (Badan Penolong Haji) pun dirintis murid KH Ahmad Dahlan, Haji Sujak yang mengusahakan usaha perkapalan untuk jemaah haji pada tahun 1921. Bidang pendidikan itu lebih jelas lagi. Karena strategi gerakan Muhammadiyah diawali dengan perintisan dan pengembangan kader lewat jalur pendidikan formal dan non formal. Dilihat aspek pengembangan pemikiran keagamaan, Muhammadiyah pun berada di garda depan. Di zaman Belanda Muhammadiyah berhasil upaya de-mistifikasi (penghancuran berpikir mistik) dengan gerakan rasionalisasinya, tetap tetap berpijak pada konsep Al-Qur’an dan As-Sunnah. Muhammadiyah pun mendobrak ketaklidan yang membabi buta, berpikir feodal seperti pengkultusan individu yang bisa mematikan ijtihad dan keterbukaan pikir. Muhammadiyah turut pula mendobrak kefeodalan dengan mengubah kebiasaan kurang baik, dalam proses pembelajaran al-Qur’an. Misalnya turut memelopori usaha penerjemahan Al-Qur’an, yang di zaman Belanda itu diharamkan. Muhammadiyah pun yang memelopori ibadah hari raya di lapangan pada tahun 1930-an, yang menggemparkan. Bahkan Belanda khawatir akan bergeser pada aksi massa. Dengan pola pikir yang rasional tetapi tetap mengedepankan jiwa kemanusiaan (kecerdasan emosional), Muhammadiyah berhasil membawa umat sedikit demi sedikit untuk mempergunakan nalar rasional dengan inspirasi ajaran Qur’an dan Sunah. Dari pola pemikiran rasional tsb gerakan Muhammadiyah telah “membangunkan” kesadaran umat Islam yang sebelumnya lebih terkesan tertinggal dan menjauhi kemajuan modern dalam pengembangan sains dan teknologi. Sehingga perlahan Muhammadiyah bisa membawa umat dan bangsa untuk mensejajarkan umat dan bangsa ini dengan umat dan bangsa lainnya. Bahkan peranan Muhammadiyah sampai kini tetap menjadi harapan umat dan bangsa, selain ormas Islam lainnya seperti NU, Persis, SI dan lain-lain. Terlebih dalam menyikapi isu-isu nasionaol dan internasional selalu tampil di depan sebagai pelopornya. Baik secara kelembagaan ataupun yang diperankan individu kader-kadernya. Pengamat politik asing seperti Samuel P Huntington dalam bukunya Benturan Peradaban menyebutkan Muhammadiyah sebagai “motor kebangkitan Islam” di Indonesia. Analisis Huntington tersebut wajar. Sebab dalam rentang usianya mendekati satu abad, Muhammadiyah telah, sedang dan akan terus mengahasilkan kader-kader intelektual bagi umat dan bangsa. Bahkan perkembangan berikutnya tampak Muhammadiyah sedang melebarkan sayapnya menjadi gerakan internasional dengan sudah membuka cabang-cabangnya di luar negeri. Seperti di Berlin, Cairo, Teheran, Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, Australia, Amerika dst. Dari latar belakang tersebut di atas, bila meminjam teori Hero (Tokoh) nya Thomas Carlyle bahwa pemimpin besar (The Great Man) sebagai penggerak idea akan terjadi perubahan sejarah. Bahwa idea dapat membangkitkan gerak sejarah suatu bangsa, jika ada penggeraknya yaitu pemimpin besar. Seperti halnya ajaran Islam, tidak akan berkembang tanpa kehadiran dan peranan pemimpin besarnya, nabi Muhammad saw. Dengan memakai pendekatan teori sejarah ini, maka gerakan Muhammadiyah tidak akan berkembang dan berpengaruh besar sampai kini jika tanpa kehadiran ideolog dan penggerak awalnya KH Ahmad Dahlan. Karena itu mencermati dan melakukan studi atas pemikiran KH Ahmad Dahlan menjadi penting dilakukan. Ini akan berguna untuk memahami dinamika perkembangan Muhammadiyah khususnya, dan dinamika umat Islam dan bangsa Indonesia. Muhammadiyah selalu terbuka dan terus berkembang termasuk dalam hal keputusan tarjih.

  1. Ahmad Dahlan sebagai Pembaharu

Ada banyak hal yang menjadikan K.H. Ahmad Dahlan sebagai pembaharu, di antaranya yaitu:

  1. Melakukan purifikasi ajaran Islam dari khurafat tahayul dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam, dan mengajak umat Islam untuk keluar dari jarring pemikiran teradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.[28]
  2. Usaha dan jasanya mengubah dan membetulkan arah kiblat yang tidak tepat menurut mestinya. Umumnya masjid-masjid dan langgar-langgar di Yogyakarta menghadap Timur dan orang-orang shalat mengahadap kea rah Barat lurus. Padahall kiblat yang seenarnya menuju Ka’bah dari tanah Jawa haruslah iring kearah Utara + 24 derajat dari sebelah Barat. Berdasarkan ilmu pengetahuan tentang ilmu falak itu, ornag tidak boleh menghadap kiblat menuju Barat lurus, melainkan harus miring ke Utara + 24 derajat. Oleh sebab itu, K.H. Ahmad Dahlan mengubah bangunan pesantrennya sendiri supaya menuju kea rah kiblat yang betul. Perubahan yang diadakan oleh K.H. Ahmad Dahlan itu mendapat tantangan keras dari pembesar-pembesar masjid dan kekuasaan kerajaan
  3. Berdasarkan perhitungan astronominya, K.H. Ahmad Dahlan menyataka bahawa hari raya Idul Fitri yang bersamaan dengan hari ulang tahun Sultan,, harus dirayakan sehari lebih awal dari yang diputuskan para ulama “mapan”. Dan melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan. Sultan menerima pendapat K.H. Ahmad Dahlan namun karena ini pula beliau kehilangan lebih banyak lagi simpati dari kalangan ulama “mapan”.[29]
  4. Mengajarkan dan menyiarkan agama Islam dengan popular, bukan saja di pesantren, melainkan ia pergi ke tempat-tempat lain dan mendatangi berbagai golongan. Bahkan dapat dikatakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah bapak Muballig Islam di Jawa Tengah, sebagaimana syekh M. Jamil Jambek sebagai bapak Muballigh di Sumatra Tengah.[30]
  5. Mendirikan perkumpulan Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia sampai sekarang.
  6. Sebuah Refleksi Dan Kritik Realita Sekolah-Sekolah Muhammadiyah Saat Ini

Puluhan truk pasir sejumlah sak semen dan beberapa kaleng cat tidak begitu bermakna apabila hanya di pajang di toko atau disimpan di gudang. Makna itu menjadi bermakna di tangan tukan batu atau arsitek, karena beragam bentuk arsitektur dapat dibangun. Ilustrasi tersebut menjadi bermakna dalam konteks pendidikan. Melimpahnya materi tentang aqidah, akhlaq, A-Qur’an Hadits atau hafalan sekian juz plus materiilmu umum yang menjadi tidak bermakna manakala dijejalkan begitu saja ke peserta didik dalam keadaan saling terpisah dan bersifat parsial. Apabila Muhammadiyah benar-benar mau membangun sekolah atau universitas unggulan maka harus merumuskan landasan filosofis pendidikan yang tepat sehingga dihadapan pendidikan nasional pun posisinya tegas. Jika kita melihat sekolah Muhammadiyah saat ini dari sisi kurikulumnya sama persis dengan sekolah/universitas negeri ditambah materi al-Islam dan ke-Muhammadiyahan. Kalau melihat materi yang begitu banyak, maka penambahan itu malah semakin membebani anak karenanya amat jarang lembaga pendidikan melahirkan bibit-bibit unggul. Karena itu suudah waktunya untuk kembali merumuskan materi yang terintegrasikan dengan materi-materi umum seperti yang dicita-citakan oleh pendidinya buya Ahmad Dahlan serta disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Buya melihat bahwa mengadopsi system pendidikan model Barat adalah salah satu jalan pintas karena buya melihat bahwa pendidikan merupakan kunci untuk melakukan berbagai perintah agama. Mengingat system pendidikan koloni dianggap yang terbaik maka jalan yang paling mudah adalah dengan mengadopsi sisterm tersebut lalu disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Namun, generasi kita sekarang lebih disibukkan untuk mendirikan lembaga pendidikan hasil ijtihad, bukan menangkap substansinya yaitu bagaimana mengintegrasikan atau mensintesakan ilmu umum dan ilmu agama, karenanya cita-cita buya untuk melahirkan ulama-intelek dan intelek ulama belum terpenuhi. Lain halnya jika kita membaca cerpen dari Navis (2000) yang berjudul “Robohnya Surau Kami”, yang berisi kritikan terhadap kaum agamawan (para penganut agama, terutama Islam) yang terlalu bersemangat untuk meraih surga di akhirat tapi melupakan meraih “surga” di muka bumi ini melalui kerja kemanusiaansampai akhirnya surai itu roboh. Dengan meminjam istilah itu secara konotatif kemungkinan kritik itu diarahkan kepada warga Muhammadiyah yang berlomba-lomba mendirikan sekolahan hanya bermodal ihlas tanpa memperhatikan mutu/kualitas dan standar kelayakan pendidikan sehingga begitu ada arus perubahan satu persatu sekolah Muhammadiyah rontok, kehabisan murid seperti yang terjadi belakangan ini. Sedangkan secara denotative, memang untuk menunjukkan bahwa bangunan gedung-gedung Muhammadiyah rata-rata sudah menua sehingga benar-benar mau roboh. Begitulah realita yang terjadi dan untuk menutup tulisan ini ada baiknya kita membaca kembali apa yang dituliskan Andrea Hirata dalam novel best seller-nya yang sangat menyengat dunia pendidikan kita yang berjudul Laskar Pelangi.. Realita pendidikan Muhammadiyah di pelosok kota Belitung, yang harus berjuang keras melawan ganasnya lingkungan dan kehidupan. Tapi dengan motivasi dan semangat yang tinggi dari diri sendiri, teman serta pengelola pendidikan tersebut, mereka berhasil mengatakan pada dunia “ini lah aku…anak-anak dari pelosok Belitung…”. Guru yang super hebat dengan semua pengorbanannya memperjuangkan eksistensi mereka pada dinas Pendidikan setemat, dan loyalitas mereka untuk menerapkan cita-cita pembaruan buya Ahmad Dahlan dalam sekolah mereka. Harusnya kita malu dengan segala kemewahan fasilitas dan sarana yang kita miliki kalau kita masih keliru memahami maksud dari cita-cita pendidikan buya Dahlan. Sederhananya, tidak banyak cingcong dan kemampuan merealisasikan ide menjadi tindakan nyata, jauh lebih tinggi daripada intelektual muda manapun. Ini barangkali dapat dipertimbangkan sebagai mata pelajaran baru di sekolah-sekolah kita. University of Life adalah ungkapan yang paling pas untuk situasi ini. Sekolah seharusnya tidak lagi mengajarkan hal-hal apa yang harus kita pikirkan,tapi mengajarkan kita cara berfikir. Ada baiknya kita memotivasi diri kita sebagai pondasi awal kita untuk menyajikan dunia pendidikan yang terbaik sesuai dengan cita-cita buya, dengan meresapi apa yang dikatakan Arai kecil: “bahwa orang seperti kita akan mati tanpa mimpi dan semangat, karena itu jangan pernah berhenti bercita-cita, karena pabila itu terjadi maka tragedy terbesar dalam hidup kita akan dimulai. Itulah kiranya yang dingin direalisasikan oleh buya Ahmad Dahlan. III. KESIMPULAN

  1. Gerakan Muhammadiyah dikenal luas sebagai gerakan yang sangat dipengaruhi oleh gagasan modern dan reformis pembaru Mesir Muhammad Aabduh (1849-1905), yaitu dimaksudkan untuk memurnikan Islam di Indonesia dari praktik-praktik khurafat tradisional yang tidak Islami. Dalam rangka memajukan program pembaruannya, Muhammadiyah menyerukan agar kaum Muslim kembali kepada Islam yang murni dan menafsirkan untur-unsur kebudayaan Barat dalam kerangka ajaran Islam.
  2. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan  melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Beliau tentang model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi perkembangan.
  3. Setelah melihat sepak terjang K.H. Ahmad Dahlan dalam gagasan dan praktek pendidikan Islam melalui Muhammadiyahnya, kita tahu besar sekali jasa beliau dalam meletakkan pelajaran agama sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah pemerintah sampai saat ini dari pendidikan kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
  4. Gagasan K.H. Ahmad Dahlan selanjutnya dijadikan inspirasi bagi penetapan bidang studi umum dan agama Islam yang wajib diberikan di sekolah dasar dan diikuti oleh murid-murid yang beragama Islam.
  5. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan berangkat dari keinginan untuk mewujudkan manusia yang mewakili kepribadian yang integral dan pengetahuan yang seimbang. Sehingga dipandang pentingnya memberikan pengetahuan agama bagi mereka yang berada di sekolha-sekolah umum dan pengetahuan umum bagi mereka yang selama ini belum pernah mendapatkannya.
  6. Tampak jelas dalam kurikulumnya bahwa kurikululum yang ditetapkan DikNas, pendidikan Muhammadiyah juga mengkompromikan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Pada sekolah negeri pelajaran agama merupakan satu bidang studi. Sedang di pendidikan Muhammadiyah dibagi menjadi empat, yaitu akidah, al-Qur’an, tarikh dan akhlaq
  7. K.H. Ahmad Dahlan dapat dikatakan sebagai peletak dasar pemikiran Muhammadiyah yang tidak bersikap apriori terhadap Barat. Ia melihat kemajuan yag dibawa Barat dan ia bekeyakinan bahwa salah satu jalan untuk mengankat umat Islam adalah dengan mendidik mereka dalam lembaga pendidika yang mempunyai system yang tersendiri sebagai hasil pemikirinannya. Lembaga-lembaga pendidikan inilah yang kemudian menjadi sarana pelestarian hasil-hasil keputusan tarjih.

IV. PENUTUP Demikian pemaparan makalah dari saya semoga bermanfaat. Semoga kita dapat melakukan dan memberikan yang terbaik bagi dunia pendidikan kita dengan menghadapi semua kesulitan sebagai bagian dari suatu tatanan pendidikan kita yang sempurna. Billahi fi sabilil haq fastabiqul khairat. DAFTAR PUSTAKA Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007). Abdul Munir Mulkhan, Prof.Dr.SU, Kisah dan Pesan Kiai Ahmad Dahlan (Yogyakarta: Pustaka, 2005) Abuddin Nata, FIlsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru) (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005) Ahmad Mansur Suryanegara, Prof.Ph.D, Filsafat Sejarah (Makalah Mata Kuliah), (Jurusan SPI Fak.Adab IAIN SGD, Bandung, 2003) Ali Asyraf, Horison Baru Pendidikan Islam, terjemahan, Sori Siregar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993). Alfian, Muhammadiyah The Political Behavior of Allah SWT Muslim Modernist Organization Undr Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1085) Alwi Shihab, Membendung Arus Resopn Gerakan Muhammdiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998) Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam (Jember, Mutiara Offset, 1985) Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)Clifford Geertz, The Religion of Java (New York: The free Press of Glencoe, Inc., 1961) Berita Resmi Muhammadiyah (BRM) No.23/April 1995 Delia Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942I (Jakarta: LP3ES, 1995) Disertasi tidak diterbitkan, Ahmad Tafsir, Konsep Pendidikan Formal dalam Muhammadiyah (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1987) Achmad Jainuri, The Muhammadiyah Movement in Twentieth Century Indonesia Allah SWT social Religius Study (Canada: Tesis Mc. Gill University Montrealm 1992) Dja’far Siddik, Konsep Pendidikan Islam Muhammadiyah Sistematisasi dan Interpretasi Berdasarkan Perspektif Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1997) Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2001) Hamka, Kenang-kenangan Hidup I (Jakarta: Gapura, 1951) http://immgunungjati.wordpress.com/2007/11/13/rekonstruksi-pemikiran-kh-ahmad-dahlan/ Download pada tanggal 9 April 2008-04-18 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1994) KRH. Hadjid, Pelajaran K.H. Ahmad Dahlan 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat al-Qur’an (Yogyakarta: LPI PPm, 2005). M. Margono Poesposuwarno, Gerakan Islam Muhammadiyah (Yogyakarta: Persatuan Offet, 1995) M. Yusron Asrofie, K.H. Ahmad Dahlan Pemikiran dan Kepemimpinannya (Yogyakarta: Yogyakarta Offset, 1983) Mark R. Woodward, Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta (Tucson: The University of Arizona Press, 1989) Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya (Jakarta: Lentera, 1999) MT. Arifin, Muhammadiyah: Potret yan Berubah (Surakarta: Institut Gelanggang Mukti A. Ali, The Muhammadiyah Movement: Allah SWT Bibliographical Introcution”, Tesis Master pada Institute of Islamic Studies (Mc Gill Univercity, Montreal, 1957) Pedoman Guru Muhammadiyah, seri M.P.P. No. % (Jakarta: PP Muhammadiyah Majlis P.P.K, 1997 Pemikiran Filsafat Sosial BUdaya dan Kependidikan, 1990)Profil Anggota Muhammadiyah, LP UMY, Yogyakarta, 2000 Robert van Neil, From Netherlands East Indies to Republic of Indonesia 1900-1945, dalam Harry Aveling (ed), The Development of Indonsesian Society (New York: St. artin Press, 1980) Sri Setyatiningsih dan Sutrisno Katoyo, Sejarah Pendidikan DIY (Yogyakarta: Depdikbud, 1982) Syaifullah, Gerakan Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi, (Grafiti Pers, Jakarta, 1997) Solichin Salam, Muhammadijah dan Kebangunan Islam di Indonesia, (NV Mega, Jakarta, 1965) Tim MPK PP Muhammadiyah, Sistem Perkaderan Muhammadiyah (Yogyakarta: MPK PP Muhammadiyah, 2008) Sukrianta & Abdul Munir Mulkhan, Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah Dari Masa Ke Masa, Dua Dimensi, Yogyakarta, 1985 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002). Suara Muhammadiyah, Edisi Sabtu, 9 Februari 2008 Syamsi Sumardjo, Pengetahuan Muhammadiyah dengan Tokoh-tokohnya dalam Kebangunan Islam (Yogyakarta: P.B. Muhammadyah, 1976) Syed Sajjad dan Syed Ali Ashraf, Crist in Muslim Education (Jeddah: Hodder and Stonghton 1979) Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006 Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka SInar Harapan, 1995) Winarno SUrakhmad, dkk, Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan (Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah, 2003) Yunus Salam, K.H. Ahmad Dahlan Reformer Islam Indonesia (Jakarta: Djajamurni, 1963). —————–, K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Perjuangan (Jakarta: Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1968)


[1] Terminology dunia Islam adalah suatu area terbentang antara Maroko sampai ke Indonesia dan Negara-negara yang terletak di sekitar Indonesia seperti Cina, Jepang dan Tibet, di mana Negara-negara tersebut sebagian besar mempunyai aligiensi (kecenderungan terbesar) kultur Budha, Syed Sajjad Husain and Syed Ali Ashraf, Crisis in Muslim Education, (Jeddah: Hodder and Stoghton, 1979), h. 3. Bandingkan dengan Ali Asyraf, Horison Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), p. 105-143. diceritakan bahwa, untuk memecahkan masalah-masalah dan meningkatkan mutu pendidikan, secara resmi telah diadakan kongerensi pendidikan sebanyak empat kali: pertama di Mekkah tahun 1977, kedua di Islamabad (Pakistan) tahun 1980, ketiga di Dhaka (India) tahun 1981 dan keempat di Jakarta tahun 1982. [2] Hamka, Kenang-kenangan Hidup (1) (Jakarta: Gapura, 1979), p. 36-37. selanjutnya Hamka menulis, tentang kesenjangan antar sekolah pada awal abad ke-20 sebagai berikut: Pada waktu itu ada dua macam sekolah, satu namanya Sekolah Gubermen, yang terdiri dari IV kelas, dan yang satu namanya Sekolah Desa yang teridiri dari III kelas. Di antara murid-murid kedua sekolah itu, kerap sekali terjadi perkelahian karena saling membanggakan sekolah masing-masing. Anak Sekolah Desa dipandang rendah, atau merasa dirinya rendah, berhadapan dengan anak Sekolah Gubermen. Untuk anak-anak pegawai bangsa Belanda didirikan Europeesche Lagere School, dengan kekecualian yang amat sangat, artinya yang diterima di situ hanya anak-anak pegawai bangsa Indonesia, misalnya anak Demang dan anak Jaksa. Anak-anak yang bersekolah di sini merasa pula bahwa dirinya adalah tingkat yang di atas sekali, lebih tinggi dari sekolah Gubermen itu dan jauh pula lebih tinggi dari anak Sekolah Desa. [3] Dalam Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesia Elite, terj. H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), p. 21. 101. Politik etika bermula dari pidato Ratu Wilhelmina pada tahun 1901 di Staten General, yang menegaskan bahwa Belanda mempunyai “kewajiban moral” terhadap rakyat Indonesia. Isi pidato tersebut antara lain: “Sebagai kekuatan Kristen pribumi di Hinda Belanda berkewajiban untuk mengatur posisi hukum yang lebih baik bagi orang-orang Kristen pribumi di Hindia BElanda, untuk memberikan dukungan lebih kuat terhadap penyebaran Kristen dan memberikan penerangan kepada segenap petugas bahwa Belanda mempunya kewajiban moral yang harus dipenuhi terhadap penduduk wilayah itu”. Adapun pelaksanaan politik tersebut mulai tahun 1907, berakhir tahun 1920. [4] Sri Setyiatiningsih dan Sutrisno Kutoyo, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Depdikbud, 1982), h. 9. [5] Aqib Suminto, Politik Islam, h. 15, 19. UUD Belanda ayat 119 tahun 1855, menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama. Pengertian netral dalam hal ini seharusnya tidak memihak dan tidak campur tangan sekali atau bisa juga membantu kesemuanya secara seimbang tanpa mencampurinya. Tetapi, ternyata penryataan netral terhadap agama berbeda antara teori dan praktek. Sampai pada tahun-tahun terakhir berkuasanya, kebijaksanaan pemerintahan Hindia Belanda terhadap agama lebih tepat dikatakan campur tangan daripada netral. Meskipun campur tangan terhadap Islam dan Kristen berbeda dalam jenis kualitas dan kuantitasnya. Dan keinginan untuk tetap menjajah, betapapaun mengakibatkan pemeritah kolonia tidak memapu memperlakukan agama pribadi sama dengan agaman sendiri, juga tidak mampu memperlakukan pribadi yang beragama lain, sama dengan pribumi yag seagama dengan. Senada juga dengan Delia Noer, Gerakan Modern Islam, h. 105. bahwa sikap diskriminatif juga tampak pada perlakuan Belanda terhadap pihak muslim dengan Cina. Pemerintah colonial dirasakan lebih menganakemaskan pihak Cina. Pendirian Hollands Chinese School (HSC) dalam tahun 1099 oleh pemerintah colonial Belanda dianggap oleh banyak orang Indonesia sebagai bukti atas diskrimisasi tersebut. [6] Yunus Salam, K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Perjuangannya, (Jakarta: Depot Pengajaran Muhammadiyah 1968), h. 29-30. [7] Lihat: Delia Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942I (Jakarta: LP3ES, 1995). M. Yusron Asrofie, K.H. Ahmad Dahlan Pemikiran dan Kepemimpinannya (Yogyakarta: Yogyakarta Offset, 1983). Yunus Salam, K.H. Ahmad Dahlan Reformer Islam Indonesia (Jakarta: Djajamurni, 1963). Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993). Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka SInar Harapan, 1995). M. Margono Poesposuwarno, Gerakan Islam Muhammadiyah (Yogyakarta: Persatuan Offet, 1995). Alwi Shihab, Membendung Arus Resopn Gerakan Muhammdiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998). Alfian, Muhammadiyah The Political Behavior of Allah SWT Muslim Modernist Organization Undr Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1085). Dja’far Siddik, Konsep Pendidikan Islam Muhammadiyah Sistematisasi dan Interpretasi Berdasarkan Perspektif Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1997). Disertasi tidak diterbitkan, Ahmad Tafsir, Konsep Pendidikan Formal dalam Muhammadiyah (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1987). Achmad Jainuri, The Muhammadiyah Movement in Twentieth Century Indonesia Allah SWT social Religius Study (Canada: Tesis Mc. Gill University Montrealm 1992).   [8] Delia Noer Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 48 [9] Musthafa Kamal Pasha, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam untuk Angkatan Muda (Yogyakarta: Persatuan, 1975), h. 8-9 [10] Ahmad Khatib aslinya adalah orang Bukittinggi, Sumatra Barat, yang pergi ke Mekkah pada 1876 untuk melanjutkan sekolahnya. Dia dikenal sebagai orang yang sangat kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah colonial Belanda dan bersikap tidak bersahabat kepada Hurgronje ketika yang terakhir ini berada di Mekkah. Di antara murind-muridnya adalah ulama terkenal K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantren Tebuireng dan belakangan pendiri organisasi kaum tradisionalis NU. Lihat: Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya (Jakarta: Lentera, 1999), h. 245 [11] Ada perbedaan pendapat di kalangan para penulis biografi K.H. Ahmad Dahlan mengenai kepergiannya ke Mekkah. Menurut Mukti Ali, K.H. Ahmad Dahlan pertama kali menuanaikan ibadah haji pada 1890 dan menetap di sana selama satu tahun, sedangkan dalam kunjungannya yang kedua ia menetap selama dua tahun. Sumber lain menyebutkan dalam kunjungannya yang kedua ini, ia menetap selama empat tahun. Sedang sumber lain lagi menyebutkan ia menetap selama satu setengah tahun, bersama anaknya Siraj. [12] Syamsi Sumardjo, Pengetahuan Muhammadiyah dengan Tokoh-tokohnya dalam Kebangunan Islam (Yogyakarta: P.B. Muhammadyah, 1976), h. 4. [13] Penggerak kebangkitan Islam di Jawa yang pertama adalah perkumpulan Jam’iat Khair yang berdiri di Jakarta pada tahun 1905. dari perkumpulan inilah bermunculan tokoh-tokoh baru Islam dan mendirikan berbagai perkempulan seperti Muhammadiyah, al-Irsyad, dll. K.H. Ahmad Dahlan adalah salah seorang anggotanya dengan nomor anggota 770. [14] Ketika bergabung, kepedulian utama K.H. Ahmad Dahlan adalah untuk memasukkan dimensi keagamaan ke dalam organisasi yang watak utamanya secular itu. Beliau ingin menyebarkan nilai-nilai keagamaan di kalangan anggota organisasi ini, yang dikenal luas sebagai sangat intelek tetapi komitmennya kepada Islam sangat kurang. Lihat: Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, h. 86. pembawaannya yang rasional dan tidak tradisional dalam merumuskan ajaran-ajaran Islam tampaknya menjadi alasan di balik kemampuan mempengaruhinya dan diterima para anggota BU dan beliau tetap merupakan anggota aktif organisasi itu bahkan setelah Muhammadiyah lahir. [15] Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, h.95-96 [16] Lihat, Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam (Jember, Mutiara Offset, 1985), h. 92. Lihat juga Pedoman Guru Muhammadiyah, seri M.P.P. No. % (Jakarta: PP Muhammadiyah Majlis P.P.K, 1997), h. 26. Tujuan pendidikan Muhammadiyah secara umum yang lain berbunyi: “Terwujudnya manusia musli yang berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri sendiri berguna bagi masyarakat dan negara. Selanjutnya tujuan tersebut disempurnakan lagi, sehingga berbunyi: (i) terwujudnya manusia muslim yang berakhlak mulia cakap, percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat dan negara, beramal menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, (ii) memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan untuk pembangunan masyarakat dan Negara RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan ini tercantum dalam Kaidah Perguruan Dasar dan Menengah masyarakat pasal 3 Persyarikatan Muhammadiyah Badan Hukum yang menyelenggarakan Sekolah dan Terguruan Tinggi, pasca kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan. [17] Ibid, h. 98-108 [18] Bahan pelajaran tersebut di samping pelajran Qur’an dan hadis adalah kitab-kitab fiqh (mazhab Syafi’i), ilmu tasawuf (al-Ghazali), Ilmu kalam (ulama-ulama Ahl Sunnah) ditambah dengan kitab Risalah al-Tauhid (Muhammad Abduh), kitab Jalalain dan al-Manar. Sedangkan pengetahuan umumnua meliputi: ilmu sejarah, berhitung, menggambar bahasa Melayu, bahasa Belanda dan Inggris. Lihat: Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan, h. 122-123. [19]K.H. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan Kyai Haji Mas Mansyur, terjadilah revisi –revisi setelah melakukan kajian mendalam, termasuk  keluarnya  Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya do’a qunut di dalam shalat subuh dan jumlah rakaat shalat tarawih yag sebelas rakat. “ Ini wujud keterbukaan Muhammadiyah yang tidak fanatik”.Karena ini Muhammadiyah bukan Dahlaniyah. Dahulu ketika  Ahmad Dahlan muda  bermukin di Makkah, sempat belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib yang saat itu juga  bersama Hasyim Asyari yang kemudian menjadi salah satu pendiri Nadhatul Ulama. Karena Kyai Ahmad Khatib adalah seorang ulama bermahzab Syafii, maka praktik ibadah Kyai Dahlan banyak yang mengikuti fiqh Mahzab Syafii.  Hanya saja, karena Kyai Dahlan mendapat tugas dari Syaikh Ahmad Khatib untuk mempelajari Al Mannar, karya Rasyid Ridha, maka Kyai Dahlan terpengaruh juga dengan pemikiran Rasyid Ridha yang menekankan tidak bermahdzab. “Contohnya, bila ada satu masalah yang kuat dasarnya Mahzab Syafii yang dianut Mahzab Syafii, kalau suatu masalah kuat Mahzab Hanafi, yang dianut Mahzab Hanafi”. Hal inilah yang kemudian dianut Muhammadiyah, termasuk dalam pengambilan Putusan Tarjih. Demikian dikatakan Dr. Yunahar Ilyas ditengah Pengajian Mahasiswa, kamis (7/02/2008) di Kantor PP Muhammadiyah, Jl Cik Di Tiro Yogyakarta. Lihat: Suara Muhammadiyah , Edisi 9 Februari 2008. [20] Karel. K. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, h. 54-55 [21] K.H. Ahmad Dahlan sering mengajak murid-muridnya mengunjungi gereja dan sekolah-sekolah misi untuk menunjukkan dedikasi tinggi yang diberikan oleh para misionaris terhadap tugas-tugas baik yang bersifat keagamaan maupun social. Tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan semangat juang para muridnya.  Lihat juga Robert ban Neil, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, h. 85. [22] Alfian Muhammadiyah, h. 150. Lihat juga Arifin, Muhammadiyah , h. 64-66 [23] Mengenai Pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan di bidang Pendidikan, lihat Mukti Ali, The Muhamadiyah Movement, h. 53 [24] Kata “pesantren” secara harfiah berarti tempat atau sekolah untuk santri. Kata santri pada mulanya berarti para siswa yang belajar di sekolah-sekolah Islam. meskipun demikian, dalam masarakat Jawa, kata ini memperoleh makna yang lebih luas. Kata ini dulu, dan hingga sekarang masih digunakan untuk menunjuk kelompok kaum muslaim ortodoks yang taat menjalankan perintah-perintah agama. Karena itu, pesantren bukanlah sebagaiman ayang digambarkan Geertz sebagai sekolah elompok teligius yang kesalehannya mencerminkan produk sintesis antara Islam dan agama Jawa para-Islam yang jauh dariortodoksi Islam. pada kenyatannya, pesantren dibangun sebagai dan perlahan-lahan berkembang menjadi jantung Islam ortodoks di wilayah pedesaan di seluruh Indonseia, meskipun disebut dengan nama-nama yang berbeda. Pendidikan yang diberikan disekolah-sekolah ini, setidak-tidaknya hingga berdirinya Muhammadiyah , hanya terdiri dari ilmu agama. Pengajaran diberkan dengan cara yang tidak formal, dengan cara para murid duduk mengelilingi guru mereka. Muhammadiyah berdiri untuk memodernisasikan lembaga-lembaga ini, dengan memasukkan pengajaran ilmu-ilmu sekuler da penerapan system pengajaran baru. Bahkan dapat dikatakan, salah satu sumbangan khas Muhammadiyah dalam bidang pendidikana adalah dengan mengadakan pendidikan Islam yang melampaui system pendidikan pesantren yang tradisionalis ini. Lihat, Clifford Geertz, The Religion of Java (New York: The free Press of Glencoe, Inc., 1961), h. 125. Lihat juga Mark R. Woodward, Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta (Tucson: The University of Arizona Press, 1989), h. 79-80. [25] Setelah dapat dipastikan, bahwa Muhammadiyah bersika kooperatif. Pemerintahan HindiaBelanda memberikan penghargaan atas itu semua, berupa perangko pos yang berlogokan Muhammadiyah dan K.H. Ahmad Dahlan. Ini merupakan salah satu kunci keberhasilan K.H. Ahmad Dahlan dalam merealisasikan program pembaharuan pendidikannya di Indonesia saat itu. [26] Ini menjadi pe-er besar bagi kita bersama untuk menindaklanjuti yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan dengan melakukan studi komparatif antara system pendidikan Kristen dan system pendidikan Islam sehingga diharapkan akan tercipta sebuah paradigma baru bagi dunia pendidikan Islam. [27] Lihat, Abudina Nata, Filsafat Pendidikan Islam, h. 208 [28] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h. 103-104 [29] A. Mukti Ali, The Muhammadiyah Movement, h. 32. [30] Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, h. 276.

Entry Filed under: Pemikiran Pendidikan Islam,Pendidikan,Sejarah,Sejarah Peradaban Islam

1 Comments Add your own

  • 1. PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLA&hellip  |  Januari 19, 2014 pukul 9:25 am

    […] hangat dibicarakan oleh para ilmuwan Muslim di seantero dunia (mis. pada konferensi pendidikan)[1] dengan mencoba menginventarisis pendidikan untuk diberikan solusi. Pada masa kolonialisme, pola […]


Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to comments via RSS Feed

Salsabila

Nez Arsip

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui email.

Bergabung dengan 10 pelanggan lain

Nez Facebook

Nez Yahoo

Nez Penanggalan

April 2010
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
2627282930  

Klik favorite ^_^

Komentar Terakhir

www.nanoindian.com pada HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM…
ummurafifghozy pada HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM…
Nuril Aziz pada HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM…
Nuril Aziz pada HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM…
printer parts pada Manajemen Sumber Daya Man…

Tulisan Terakhir

Laman

Kategori

Arsip

Tulisan Teratas

Blogroll

Meta

Yuk Gabung di twitterku