AKTA MENGAJAR YANG DIKEJAR-KEJAR

April 2, 2010 nezzasalsabila


I. PENDAHULUAN

Manusia sepanjang sejarahnya berusaha mejawab pertanyaan yang diajukan kepada diri sendiri yakni apa dan siapakan manusia itu? Pertanyaan filosofis inilah yang nantinya akan mengantarkan kita pada ranah pendidikan. Sudahkan pendidikan kita memberi iklim dan ruang yang luas kepada para lakonnya untuk bisa benar-benar mengembangkan potensi dirinya dan mendapatkan pengajaran yang baik? Sudahkah pendidikan kita seperti yang diungkapkan oleh Paulo Freire, yaitu menjadi pembebas dan proses membangkitkan kesadaran kritis bagi setiap insane? Seperti  yang terjadi dalam dunia pendidikan kita sekarang. Sebuah sejarah yang berulang ketika saat ini guru mengejar-ngejar akta mengajar. Padahal dulu, gurulah yang dikejar-kejar akta mengajar.

Bunyi salah satu pasal Undang-Undang Guru dan Dosen adalah kewajiban setiap tenaga pengajar memiliki akta mengajar. Yaitu “Akta 4”, yang dapat dicapai melalui tingkat pendidikan sarjana ilmu keguruan dan pendidikan. Setiap sarjana pendidikan (S.Pd.) dipastikan otomatis memiliki “Akta 4”. Namun, sarjana non-pendidikan, belum tentu. Karena itu, sarjana non-pendidikan yang hendak mengabdikan diri di bidang pendidikan, harus mengikuti lagi pendidikan dan ujian “Akta 4”.

Maka, dapat dimengerti, jika beberapa lembaga pendidikan yang sudah ada, sangat berminat membuka fakultas atau jurusan ilmu pendidikan. Sebab tak akan kekurangan mahasiswa. Walaupun berkiprah di dunia pendidikan sebagai tenaga pengajar tidak memuaskan secara materi, banyak sarjana non-pendidikan, berminat menjadi guru. Mengajarkan bidang pengetahuan yang dikuasainya. Begitu pula, banyak lembaga pendidikan sebagian swasta yang mengincar sarjana-sarjana non-pendidikan untuk mengisi bidang-bidang studi yang dibutuhkan para siswa. Terutama bidang studi eksakta, seperti matematika, biologi, kimia, dan fisika.

Mengejar akta mengajar memang bukan hanya sekarang. Bukan hanya karena UU Guru dan Dosen yang telah disahkan memerintahkannya demikian. Sejak dulu pun, termasuk zaman kolonial, setiap orang yang (akan) menjadi guru, wajib memiliki sertifikat mengajar. Hanya proses dan tingkatannnya yang berbeda, disesuaikan dengan tuntutan keadaan.

Berdasarkan apa yang ada di lapangan, banyak guru SD-SMU bukan dari lulusan sekolah keguruan atau fakultas pendidikan. Ada di antara mereka merupakan lulusan perguruan tinggi non pendidikan. Pertanyaannya, meski di universitas guru itu bisa lulus dengan nilai A atau cum laude, apakah ini menjadi jaminan akan menjadi guru yang baik?

Selama kurang lebih empat tahun saya belajar tentang pendidikan di fakultas pendidikan, bagaimana cara mengelola kelas, strategi belajar-mengajar yang baik, bagaimana cara menyusun satuan pelajaran dan rancangan pelajaran, praktik mengajar di sekolah sesuai bidang studinya selama 2 bulan, menyusun skripsi pendidikan dan sebagainya.

Seperti layaknya dokter, hanya mereka yang lulus sarjana kedokteran yang bisa menjadi dokter. Guru pun seharusnya demikian, hanya lulusan fakultas pendidikan saja yang bisa menjadi guru. Bisa dibayangkan, bagaimana jika yang menjadi dokter adalah seorang sarjana tehnik, sarjana ekonomi, atau sarjana non kedokteran lainnya? Lalu, bagaimana jika mereka yang menjadi guru berasal dari sarjana non-pendidikan yang tidak memiliki dasar keguruan?

Bukankah lulusan non-pendidikan yang tertarik menjadi guru dengan mengambil program akta mengajar juga bukan lulusan terbaik. Umumnya mereka putar haluan menjadi guru karena sulitnya mencari pekerjaan. Sehingga guru tidak lagi dimaknai sebagai pengabdian untuk mengembangkan know-what, knowledge (pengetahuan), know-why, attitude (sikap), know-why skill (ketrampilan) kepada peserta didik.

Fenomena ini memang suatu keuntungan bagi yang membutuhkan atau terdesak oleh kebutuhan ekonomi dan harus kerja. Namun masalahnya mungkin mengenai mutu pendidikan yang ditawarkan para pengelola akta 4 itu. Apakah dapat dijamin menghasilkan tenaga pengajar dan pendidik yang handal, atau sekadar memenuhi formalitas kepemilikan sertifikat dan memenuhi syarat sertifikasi?

II. PEMBAHASAN

  1. A. Program Akta 4 (Akta Mengajar) dan Realitanya

Akta 4 adalah program pendidikan singkat bagi yang berprofesi sebagai guru tetapi dengan latar belakang pendidikan bukan dari Fakultas Pendidikan. Ini merupakan pendidikan yang harus dijalani oleh para lulusan sarjana di semua bidang (formal) agar bisa menjalani profesi guru. Dengan adanya program ini lulusan non-pendidikan bisa menjadi guru dengan menyelesaikan program ini.

Program akta mengajar bertujuan untuk membekali kompetensi mengajar, yaitu kemampuan penguasaan materi bidang studi dan memadukannya dengan metodologi pembelajaran secara teoritik maupun praktik untuk diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Program ini pada dasarnya dibedakan menjadi dua kemampuan, yaitu kemampuan mengajar bidang studi dan kemampuan mengajar sebagai guru kelas.

Program akta mengajar adalah program yang secara khusus memang diperuntukkan guna mencetak para guru. Akta mengajar ini ibarat SIMnya para pengajar agar diakui keabsahannya sebagai guru. Mulanya, akta ini hanya dimiliki oleh sarjana kependidikan, akan tetapi perkembangan selanjutnya seiring meningkatnya minat untuk menjadi guru, akta ini dapat dimiliki sarjana non-pendidikan.[1]

Secara umum jumlah beban sks yang harus diselesaikan oleh mahasiswa program akta 4 ini adalah sebanyak 36 sks, yang tersebar dalam 12 mata kuliah, yaitu:[2]

1. Dasar-dasar Kependidikan                                     3 sks

2. Psikologi pembelajaran                                           3 sks

3. Administrasi Pendidikan                                        3 sks

4. Psikologi Anak dan Remaja                                    3 sks

5. Penembangan Bahan Ajar                                       3 sks

6. Bimbingan dan Konseling                                      2 sks

7. Penelitian Pendidikan                                             3 sks

8. Media Pembelajaran                                                2 sks

9. Perencanaan Pengajaran                                          3 sks

10. Evaluasi Pembelajaran                                          3 sks

11. Strategi Belajar Mengajar                                     4 sks

12. PPL                                                                       4 sks

Selanjutnya antara akta 4 dengan sertifikat pendidik, ada kaitannya dengan diterbitkannya UU Guru dan Dosen yang memunculkan nomenklatur baru, yakni calon guru dan guru baru menjadi sempurna untuk mendapatkan hak dan kewenangannya sebagai guru ketika dia mempunyai sertifikat pendidik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam dunia pendidikan kita, terlalu sering terjadi pergantian nomenklatur semacam itu. Untuk nama sekolah saja kita pernah mengalami perubahan dari SMP menjadi SMTP, SLTP dan sekarang kembali menjadi SMP. Dahulu sebagai tanda kelulusan di sekolah menggunakan istilah ijazah, kemudian berubah menjadi STTB, selanjutnya berubah menjadi SKL. STL dan sekalrang kembali menjadi ijazah. Apapun nama dokumen tersebut kita tetap mengakui bahwa substansi dan kepentingan dari dokumen-dokumen tersebut tetap sama.

Jadi, kalau ditinjau dari segi substansi, bukankah akta mengajar yang telah dimiliki oleh para guru sudah merupakan sertifikat pendidik. Hanya beda nama dan huruf-huruf penyusunnya. Saya masih begitu sulit menemukan perbedaannya, namun untuk memahami persamaannya semudah mencari persamaan antara akta 4, dan pendidikan profesi.

Menurut survei hanya 25% saja yang memiliki gelar sarjana, kalaupun sudah banyak yang tidak berlatar belakang Fakultas Pendidikan. Oleh karena itu pemerintah melakukan sertifikasi guru guna peningkatan profesionalisme guru dan penambahan gaji profesi di luar gaji yang ada. Pemerintah ingin meningkatkan kualitas guru sehingga profesi guru bukan lagi menjadi pilihan terakhir dan agar nantinya tenaga pengajar tidak memiliki SDM yang biasa saja.

19 November 2007 lalu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi memberikan beasiswa bagi 2.000 guru SD dan SMP yang memiliki prestasi untuk mengikuti pendidikan profesi guru.  Bagi guru yang dapat menyelesaikan pendidikan profesi dengan baik, akan menerima Sertifikat Pendidik dan berhak atas tunjangan profesi guru, besarnya setara dengan gaji pokok.

Pendidikan profesi dilaksanakan selama dua semester di perguruan tinggi yang ditetapkan sebagai penyelenggara pendidikan profesi.  Selama mengikuti pendidikan, guru meninggalkan tugas mengajar.  Komponen beasiswa yang diberikan meliputi:

–    biaya hidup (termasuk biaya pemondokan)

–    biaya buku

–    biaya kesehatan (asuransi)

–    biaya penyelenggaraan pendidikan

–    transportasi dari daerah asal ke perguruan tinggi sekali jalan

Persyaratan peserta sebagai berikut:

1.Memiliki kualifikasi akademik minimal S1/D4 dari perguruan tinggi yang terakreditasi dibuktikan dengan fotokopi ijasah yang dilegalisasi oleh perguruan tinggi.

2.Guru SD dan SMP baik guru PNS dan non PNS yang mengajar di sekolah negeri atau swasta dibuktikan dengan surat keterangan dari kepala sekolah.

3.Guru non PNS adalah guru tetap yayasan dengan masa kerja minimal 2 tahun dibuktikan dengan SK sebagai guru tetap.

4.Guru SMP adalah guru bidang studi yang mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannya untuk bidang studi PKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, Kesenian, Penjaskes, dan guru pembimbing (guru BK).

5.Memiliki prestasi akademik misalnya guru teladan/guru berprestasi, juara dalam penulisan karya ilmiah, juara dalam pembuatan CD pembelajaran, juara lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran, dan lain-lain yang berkaitan dengan peningkatan mutu guru baik di tingkat kabupaten/kota, propinsi, nasional maupun internasional yang dibuktikan dengan fotokopi surat keterangan/sertifikat/piagam penghargaan yang dilegalisasi oleh atasan.

6.Usia minimal 30 tahun

7.Diijinkan oleh kepala sekolah dibuktikan dengan surat ijin yang diketahui dan ditandatangani oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota setempat atau yang mewakili.

8.Tidak ditetapkan sebagai peserta sertifikasi guru melalui penilaian portofolio tahun 2006 dan 2007 dibuktikan dengan surat keterangan dari kepala sekolah

9.Mengisi biodata peserta pendidikan profesi[3]

Menyambut pengumuman tersebut. di Solo:Sebanyak 2.076 guru di wilayah Surakarta yang tidak lulus dalam seleksi sertifikasi profesi akan mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG).

Pemerintah menyediakan dana sebesar Rp 6,6 miliar untuk membiayai pendidikan singkat yang berlangsung Januari hingga Februari tahun depan. “Masing-masing guru peserta PLPG mendapatkan biaya akomodasi Rp 120 ribu,” kata Bendahara Panitia Sertifikasi Guru di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Sugiharto, Jum’at (14/12).

Pendidikan dan Latihan Profesi Guru tersebut adalah yang kedua kalinya diselenggaran UNS. Sebelumnya, pendidikan dan latihan serupa sudah dilakukan dan hanya diikuti oleh 204 guru. Menurut Ketua Panitia Sertifikasi Guru, M Furqon Hidayatullah, para guru yang belum lulus sertifikasi mendapatkan pendidikan dan pelatihan agar memenuhi standar profesi guru. “”Peserta PLPG mendapatkan materi dengan persentase 60 teori teori dan 40 persen praktik.

Pendidikan dan Latihan Profesi Guru diperuntukkan bagi guru yang telah menjalani sertifikasi profesi melalui uji portofolio. Dalam dua tahap sertifikasi melalui uji portofolio, hanya sebagian kecil guru yang dinyatakan memenuhi kualifikasi.

Guru yang gagal memenuhi persyaratan diwajibakan mengikuti pendidikan dan latihan tersebut. Setiap guru yang dinyatakan lulus dari sertifikasi profesi berhak menerima tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji. [4]

Permasalahannya adalah apakah masa studi yang hanya ditempuh satu tahun ini dapat menjamin mutu keluarannya, apalagi peserta studi sekaligus outpun yang dihasilkan tidak murni dari kependidikan keguruan. Tentu ada perbedaan antara sarjana yang murni lulus dari bidang pendidikan atau keguruan dengansarjana yang lulus dari bidang lain yang kemudian menembuh akta 4. Sarjana yang murni dari keguruan atau kependidikan tentu telah terbiasa dengan teori-teori terutama praktek-praktek mengajar sebab memang itu adalah asli bidang mereka sekaligus studi wajib bagi mereka . Akan tetapi, bagi sarjana yang bukan dari kependidikan atau keguruan, mereka akan nampak gagap.

  1. B. Sebuah Sikap dan Apresiasi

Sebagai orang pendidikan yang dari awal sudah secara khusus bergelut dengan teori dan praktik-praktik pendidikan, saya sangat tidak setuju dengan adanya program akta 4. Namun saya tetap berusaha menyikapinya secara bijak dan sederhana. Mungkin dengan alasan ekonomi dan kebutuhan akan pekerjaan saya bisa terima kalau orang-orang yang tidak berbackground pendidikan mengambil akta 4, tentunya harus diimbangi dengan keprofesionalan kerja yang optimal (sebenarnya saya masih meragukan hal ini).

Namun, lagi-lagi sebagai orang pendidikan saya menyarankan kepada Perguruan Tinggi yang membuka Fakultas Pendidikan agar lebih memperhatikan kualitas dan mutu lulusannya sehingga mereka bisa menjadi pendidik yang baik dan mampu mengembangkan apa yang didapat untuk mencetak anak bangsa dengan cara yang terbaik. Tidak hanya sebatas lulus dan IPK cum loud, tapi juga membekali dirinya dengan kemampuan mengajar yang baik.

Kaitannya dengan sertifikasi, menurut saya, kebijakan sertifikasi sebenarnya sudah terpenuhi oleh Akta Mengajar (Akta 4)  yang dimiliki para guru. Kalaupun kualitas akta tersebut dipertanyakan, pemerintah bukan harus menggusur akta 4 dengan kebijakan sertifikasi yang lebih membebani, tetapi harus meningkatkan kualitas lembaga atau institusi yang mengeluarkan Akta tersebut.

Pemerintah harus tegas melarang dan memberikan sanksi kepada lembaga pendidikan yang mengadakan kelas jauh. Pemerintah juga harus mengadakan evaluasi bagaimana Proses Belajar Mengajar (PBM) para guru di setiap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Pemerintah jangan sembarangan memberikan izin baru penyelenggara Akta 4 sehingga kualitasnya bisa memberikan sumbangan lebih baik bagi profesi guru.

Yang lebih parah, kebijakan sertifikasi ini dapat diberikan kepada seluruh lulusan S-1 dari berbagai disiplin ilmu yang non-kependidikan. Padahal bila profesionalisme menjadi tujuan akhir, sertifikasi profesi harus diberikan kepada para lulusan dari disiplin ilmu kependidikan atau LPTK.

Dengan cara seperti ini akan terjadi dua kemungkinan. Pertama, pemerintah membunuh lembaga pendidikan keguruan dan pendidikan secara pelan-pelan. Sebab lulusan dari disiplin manapun dengan ditambah pendidikan profesi sudah dapat menjadi guru. Kedua, profesi guru menjadi profesi buangan dari para lulusan di luar kependidikan setelah mereka tidak bisa bekerja di bidang yang lain. Sehingga seperti yang dikatakan oleh Dekan FKIP Unpas Drs. Dadang Iskandar , M. Pd ini bukan meningkatkan profesionalisme guru, tetapi citra guru seakan menjadi profesi pilihan terakhir setelah tidak bisa bekerja di bidang yang lain.[5]

Secara substansial akta mengajar tersebut merupakan lisensi bagi seseorang untuk menjalankan profesinya sebagai seorang pendidik, yakni sebagai guru, pamong belajar, ataupun dosen. Sehingga, alangkah baiknya jika akta mengajar itu hanya diperuntukkan bagi sarjana-sarjana keguruan atau kependidikan saja. Pertimbangan ini selain masalah mutu, langkah ini juga dapat digunakan untuk mengurang jumlah lulusan pendidikan guru yang belum terampung sebagai guru. Mengingat kemampuan keuangan pemerintah dalam mengangkat dan menggaji tenaga guru juga masih terbatas.

Entahlah anak saya kelak akan didik oleh ahli apa? Karena saya yakin, tidak akan ada lagi orang yang punya kemampuan mendasar metodologi kalau masih saja seperti ini. Karena mengajar bukan hanya bisa berbicara di depan siswa, bukan pula hanya bisa bikin rencana pengajaran, bukan pula karena kepintaran ilmu. Tetapi mengajar adalah kombinasi dari ilmu, nurani dan metodologi

  1. C. Sebuah Tawaran yang Solutif[6]

DALAM perjalanan sejarah pendidikan guru di negeri ini, pada awalnya Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) atau lembaga prajabatan guru adalah elitis. Jumlah calon guru sangat terbatas,  rekrutmen calon guru sangat selektif, dilanjutkan pembinaan calon guru pada institusi pendidikan guru menjadi sangat efektif, dan guru yang dihasilkan menjadi sangat abstraktif dan memiliki etos kerja/komitmen tinggi. Kemudian, kebutuhan guru yang sangat besar dan mendesak, LPTK sebagai lembaga prajabatan guru menjadi massa, rekrutmen calon guru dilakukan secara besar-besaran, jalan pintaspun dilakukan untuk memenuhi jumlah guru yang sangat besar dan mendesak tersebut. Mereka yang tadinya tidak ingin menjadi guru dan tidak dipersiapkan sebagai calon guru diangkat menjadi guru, diperburuk lagi oleh keinginan politisi membayar janji/kontrak politik mereka membuat semakin rapuh dan terpuruklah citra profesi guru di tengah masyarakat. Fenomena kebutuhan guru ini membangkitkan syahwat sebagian anggota masyarakat di berbagai daerah untuk ikut berpartisipasi mempercepat pemenuhan kebutuhan guru. Sayangnya niat mulia tersebut berakhir atau menyisakan beban yang tidak menyenangkan dan bahkan ada yang berurusan dengan pihak berwajib. Semestinya hal yang demikian itu tidak terjadi, jika keinginan mulia sebagian anggota masyarakat  tersebut dilakukan mengikuti ketentuan perundang-undangan yang telah digariskan oleh pemerintah. Ke depan, reinkarnasi LPTK menjadi elitis adalah sebuah keharusan.

Muhlas Samani selaku Direktur Ketenagaan Dirjen Pendidikan Tinggi pada suatu kesempatan dalam pengarahannya mengatakan, “Ke depan diharapkan keseimbangan penyediaan (supply) dan pemanfaatan (demand) guru diperhatikan. Artinya jumlah lulusan yang dihasilkan oleh LPTK tidak boleh berbeda dari jumlah kebutuhan guru di lapangan. Menjadi aneh jika calon guru lulusan dari sebuah LPTK yang telah mengikuti pendidikan profesi dan pemilik sertifikat pendidik tidak bekerja dalam profesinya. Pengangguran calon guru harus dihindari untuk membangun citra positif profesi keguruan. Lebih baik calon guru dengan jumlah sedikit tetapi citranya baik dari pada calon guru yang dihasilkan oleh LPTK dengan jumlah banyak tetapi citranya jelek/negatif”.

Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai perguruan tinggi yang diberi tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu pendidikan dan non kependidikan (supply) diamanahkan dapat menghasilkan guru profesional dan bermartabat; berkualifikasi akademik S1, memiliki sertifikat pendidik, memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional sesuai kebutuhan (demand) yang diperlukan.

Paradigma baru prajabatan guru menjelaskan bahwa setiap calon guru dapat berasal dari sarjana S1 kependidikan dan non kependidikan, mereka memiliki hak yang sama untuk mengikuti pendidikan profesi guna memperoleh sertifikat pendidik  yang akan digunakan sebagai salah satu syarat untuk menjadi guru.

Program pendidikan profesi adalah garda terakhir bagi calon guru bersertifikat pendidik. Oleh karena itu pemerintah menentukan persyaratan yang sangat ketat dalam pemberian izin penyelenggaraan pendidikan profesi tersebut. Di samping izin penyelenggaraan yang sangat ketat, mahasiswa yang akan mengikuti pendidikan profesi ditentukan oleh pemerintah pusat dalam jumlah atau quota yang sangat terbatas berdasarkan kebutuhan guru di setiap daerah, dan seleksi masuk pendidikan profesi juga sangat ketat, dan bebas KKN. Berdasarkan ketentuan tersebut, calon guru yang telah memiliki kualifikasi akademik S1 harus berusaha keras untuk dapat mengikuti pendidikan profesi guru, Jika tidak mempersiapkan diri secara baik, jangan berharap banyak akan tercatat menjadi mahasiswa pada program pendidikan profesi .

Bagi LPTK, khususnya  LPTK Swasta, fenomena ini sangat dilematis karena sebagian besar LPTK Swasta, lebih khusus LPTK Swasta yang mengambil bentuk “Teaching University” menjadikan jumlah mahasiswa sebagai sumber kekuatan pendanaan atau keuangan institusi. Artinya jumlah mahasiswa yang besar adalah essensial atau penting. Di pihak lain, mahasiswa yang dihasilkan dalam jumlah yang besar harus memenuhi kewajiban mengikuti pendidikan profesi agar memperoleh sertifikat pendidik yang pelaksanaannya sangat selektif dalam jumlahnya sangat terbatas, akibatnya banyak lulusan tidak dapat mengikuti pendidikan profesi. Jika hal ini yang terjadi, maka pupuslah harapan mereka  untuk menjadi guru.

LPTK , baik Negeri maupun Swasta harus berani melakukan pemikiran ulang (Rethinking of  LPTK), menerima mahasiswa dalam jumlah yang besar tanpa memperhatikan faktor keterserapan di lapangan bukan zamannya lagi, karena hanya akan menjadi bom waktu yang dikemudian hari akan meledak, masyarakat akan menuntut pertanggung jawaban LPTK yang telah berhasil menciptakan dan membuahkan kekecewaan mereka. Oleh karena itu dari  sejak awal pemerintah mengingatkan agar LPTK memperhatikan perundang-undangan  yang berlaku, seperti tidak lagi membuka program D2, karena hanya menambah jumlah pengangguran kaum terdidik.

Tantangan LPTK ke depan, antara lain adanya keinginan kuat sekolah-sekolah unggulan di kota-kota besar yang ingin mengatur sendiri rekrutmen tenaga guru tanpa memperhatikan perundang-undangan yakni  guru adalah tenaga pendidik yang dihasilkan oleh LPTK. Keinginan kuat mereka adalah merekrut guru bukan output LPTK, melainkan alumni terbaik ITB, IPB, UI, UGM, dan beberapa perguruan tinggi prestisus dengan gaji yang besar.

Oleh karena itu salah satu solusinya adalah dengan mengadakan sinkronisasi dan kerjasama fungsional antara program prajabatan guru di LPTK dengan program pembinaan guru di LPM yang dinilai sebagai lembaga yang sesuai dengan system kelembagaan sekarang sehingga guru memperoleh pendidikan yang berkelanjutan. Kerjasama itu diharapkan mampu menciptakan arah yang berkelanjutan yang sama antara pendidikan prajabatan dengan pembinaan guru sehingga pembangunan guru lebih bermakna. Sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan dalam LP2G itu sendiri dan guru yang professional pun dapat di unggulkan. LP2G itu sendiri terdiri dari 5 laboratorium pelatihan kemampuan calon guru/guru sehingga guru dapat melaksanakan profesinya dengan terlatih, yaitu laboratorium kajian anak usia sekolah, kajian kurikulum, instruksional, media dan evaluasi.

Karena itulah perlu dipikirkan masak-masak bagaimana bentuk LPTK kita yang hingga detik ini di negara kita kondisinya belum baik sehingga besar kemungkinan di kemudian hari dalam kehidupan global guru-guru kita dapat didesak oleh guru-guru bersertifikasi yang berasal dari luar Indonesia.[7]

Perlu di ingat bahwa ada hal lain pula yang perlu diperhatikan sehingga professional guru dapat tercapai, antara lain: pertama, Well recruited (direkrut dengan baik) sehingga menghasilkan bibit-bibit unggul guru yang baik. Coba tengok apakah lulusan SLTA terbaik yang pernah mendaftar di sekolah-sekolah guru? Konkritnya misalnya, apakah peraih medali olimpiade sains atau katakan the best ten alumni SMA kita ada yang mendaftar di sekolah guru ataukah sebaliknya? Kedua, well trained (didik dengan baik). Pertanyaannya adalah apakah calon guru didik dan dilatih dengan baik di LPTK atau sebaliknya? Ketiga, well motivated (motibasinya baik). Apakah para guru kita memang sejak awal bercita-cita jadi guru? Ataukah ketika rampung kuliah, tidak ada pekerjaan yang cocok, kemudian mengambil akta 4 dan barulah menjadi guru?. Keempat, well equiped (diperlengkapi dengan baik). Coba juga kita liat, apakah para guru kita diperlengkapi dengan buku-buku referensi yang cukup, leluasa mengakses internet untuk menambah wawasan, disediakan multimedia untuk mengajar, disediakan laboraturium yang lengkap atau hanya tersedia blabak dan kapur saja untuk mengajar?. Kelima, well paid (dibayar dengan baik). Kalau untuk hal yang satu ini sudah menjadi rahasia umum dan sangat memprihatinkan, khususnya guru-guru non-NIP. Selama ini pemerintah tidak pernah serius menangani kesejahteraan guru. Bahkan pemerintah seolah mengkondisikan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, yang maknanya lebih banyak diplesetkan.

Semoga dengan tawaran solutif ini mampu meminimalisir kegagalan dalam pendidikan guru kita dalam usahanya untuk menciptakan anak-anak bangsa yang cerdas dan bermartabat. Dan kita sebagai praktisi pendidikan mampu bergelut secara langsung dengan berbagai problematikanya sehingga kita mampu bersama-sama membangun dunia pendidikan kita menjadi lebih cerah dan berkualitas. Tentunya dengan cara memulainya dari diri sendiri dan saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Azumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Islam, Rekonstruksi dan Demokrasi, Jakarta: Kompas, 2001.

Darmaningtyas, Pendidikan Yang Memiskinkan, Yogyakarta: Galang Press, 2004.

Djohar,Pengembangan Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Grafika Indah, 2006.

Liputan 6 Petang Edisi 27 November 2007.

Suyanto, dkk, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Millenium III, Yogyakarta: Adi Cita

Wawancara dengan Drs. Subur Ibrahiem M. Ag selaku Ketua Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto, 29 Desember 2007.

www.pmtk.net, Pengumuman Pendaftaran Beasiswa Pendidikan Profesi Guru 2007,Download pada tanggal 24 November 2007

www.sakobere.blogspot.com, Oemar Bakri, Download pada tanggal 1 Januari 2008

www.tempointeraktif.com, Ribuan Guru Ikuti Pendidikan Profesi, Download 14 Desember 2007


[1] Wawancara dengan Drs. Subur Ibrahiem M. Ag selaku Ketua Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto, 29 Desember 2007.

[2] Kurikulun Program Akta 4 STAIN Purwokerto

[3] www.pmtk.net, Pengumuman Pendaftaran Beasiswa Pendidikan Profesi Guru 2007,Download pada tanggal 24 November 2007

[4]www.tempointeraktif.com, Ribuan Guru Ikuti Pendidikan Profesi, Download 14 Desember 2007

[5] Liputan 6 Petang Edisi 27 November 2007

[6] Berdasarkan masukan pada waktu presentasi makalah pada tanggal 3 Januari 2007

[7] Prof. Djohar memetakannya menjadi dua hal, yaitu pertama, calon guru harus dimasukkan dalam LP2G yang didalamnya memuat kegiatan yang terstruktur dalam klinik pendidikan guru. Kedua, calon guru harus terawasi dalam kehidupan asrama sehingga dapat diamati secara perorangan kemungkinannya seorang calon guru dapat diteruskan menjadi guru atau tidak. Lihat, Djohar,Pengembangan Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Grafika Indah, 2006),

Entry Filed under: Kebijakan Pendidikan Islam,Pendidikan

4 Comments Add your own

  • 1. es2808  |  Agustus 28, 2010 pukul 9:27 am

    Alhamdulillah…dgn membaca artikel anda, saya jd terbuka pikiran saya…kr saya mengalami menjadi lulusan S1 Pertanian yg diminta menjadi guru Biologi tp tdk punya akta4….jg mengajar bhs Inggris di sekolah yg gurunya selalu masuk keluar walo sdh punya akta4….sjk kantor saya tutup, saya tergerak utk mengajar dgn niat tulus banget kasian siswa2 nya…eh tnyt akta4 terus saja dibicarakan dan dituntut utk hrs saya miliki….

    • 2. nezzasalsabila  |  September 26, 2010 pukul 12:27 am

      begitulah dunia pendidikan kita, masih banyak kelemahan sana dan sini. Alhamdulillah, yang penting sekarang semoga ilmu yang njenengan miliki bermanfaat dan berkah ya. Amin 🙂

  • 3. saswan49  |  Januari 8, 2013 pukul 4:28 am

    Assalamu’alaikum … Terima kasih untuk tulisan artikel anda, semoga Allah SWT membalas kebaikan anda dalam hal ini. Wassalam

  • 4. Umi Arifah Yunianingrum  |  Februari 13, 2014 pukul 3:12 pm

    lantas bagi yg lulusan S1 murni bisa mencari akta4 dimana? apakah harus mengajar dlu setelah llus sbg persyaratan mndaftar akta 4?


Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to comments via RSS Feed

Salsabila

Nez Arsip

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui email.

Bergabung dengan 10 pelanggan lain

Nez Facebook

Nez Yahoo

Nez Penanggalan

April 2010
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
2627282930  

Klik favorite ^_^

Komentar Terakhir

www.nanoindian.com pada HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM…
ummurafifghozy pada HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM…
Nuril Aziz pada HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM…
Nuril Aziz pada HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM…
printer parts pada Manajemen Sumber Daya Man…

Tulisan Terakhir

Laman

Kategori

Arsip

Tulisan Teratas

Blogroll

Meta

Yuk Gabung di twitterku